Wali Nikah

WALI DALAM PERKAWINAN

I. Pendahuluan

Merupakan sunatullah, bahwa semua makhluk yang bernyawa, diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan memiliki nafsu serta akal dan hewan memiliki nafsu juga. Sebagian hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana baik dan mana buruk, kecuali beberapa hal yang kecil untuk mempertahankan hidupnya yang muncul berdasarkan instink. Maka dari itu hewan dapat menjalankan nafsunya dengan sepuas-puasnya tanpa ada batas, lain halnya dengan manusia, ia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, kecuali harus dengan aturan-aturan yang berbentuk institusi perkawinan.

II. Pembahasan

  1. PENGERTIAN PERWALIAN

Perwalian dalam arti umum yaitu “Segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dan wali mempunyai banyak arti lain :

1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim

serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.

2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah ( yaitu yang melakukan janji

nikah dengan pengantin laki- laki).

3. Orang shaleh (suci) penyebar agama.

4. Kepala pemerintah dan sebagainya.

B. WALI DAN TINGKATANNYA

Jumhur Ulama diantaranya Imam Malik, Asy Syafi’I, Ats Tsauri dan Al Lits bin Sa’ad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah asabah, bukan paman, saudara seibu dan bukan Dzawil Arham lainnya.

Imam syafi’I berpendapat : Pernikahan seseorang perempuan tidak syah kecuali apabila dinikahi oleh wali aqrab (dekat), kalau tidak ada wali aqrab maka dinikahkan oleh wali ab’ad (jauh), kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim).

Abu Hanafi berpendapat bahwa hak untuk menjadi wali juga diberikan kepada selain asabah, misalnya paman dari pihak ibu serta anak dari paman tersebut dan anak ibunya (saudara laki- laki seibu). Pendapat ini di perkuat oleh Syaid Siddiq Hasan Khan, pengarang Raudhatun Nadiyyah.

Siddiq Hasan Khan berkata “Alasan kami mengapa wali dalam perkawinan adalah mereka yang dekat hubungannya dengan perempuan, yang terdekat kemudian wali berikutnya ialah karena akan adanya rasa malu apabila si perempuan itu kawin dengan laki- laki yang tidak pantas menjadi suaminya. Makna yang demikian tidak terbatas pada asaabah saja tetapi kadang-kadang juga terdapat pada Dzawis Sihaam,seperti saudara seibu dan Dzawil Arham seperti cucu laki- laki dari anak perempuan.

Adapun tentang wali sulthan (penguasa) ketentuannya berdasarkan hadits:

إِذَا تَشَاجَرَالاَوْلِيَاءُ فَالُّسلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهَا ( رواه أحمد و أبو داود و ابن ماجه و الترمذى )

“Apabila para wali nikah itu bersengketa maka penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali.” ( HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi(.

C. WALI MUJBIR DAN SYARAT-SYARATNYA

Wali Mujbir menurut syafi’I adalah ayah dan kakek. Mujbir artinya orang yang berhak mengakadkan perkawinan dan akadnya dapat berlaku bagi perempuan yang masih gadis tanpa diminta kerelaannya dan si anak tidak berhak menentukan pilihan (terus atau cerai apabila ia dinikahi sewaktu belum baligh. Tetapi wali mujbir itu dibatasi dengan beberapa syarat antara lain :

1. Mempelai laki-laki itu harus sekutu (setingkat) dengan mempelai perempuan.

2. Mempelai laki-laki harus membayar mas kawin dengan tunai.

3. Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, baik

permusuhan jelas maupun terselubung.

4.Tidak ada permusuhan antara perempuan yang dikawinkan dengan wali yang

menikahkan.

D. ORANG YANG BERHAK MENJADI WALI MUJBIR

1. Anak Kecil

Para ulama madzhab sepakat bahwa wali yang wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian. Selanjutnya, para ulama madzhab berbeda pendapat tentang wali yang bukan ayah, yaitu sebagai berikut:

v Hambali dan Maliki mengatakan: wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyai orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh ke tangan hakim syar’I , sedangkan kakek sama sekali tidak mempunyai hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah.

v Hanafi mengatakan: para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah. Lalau orang yang menerima wasiat darinya, kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ketangan qodhi.

v Syafi’I mengatakan: perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya kepada penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada Qodhi.

v Imamiyah mengatakan: perwalian, pertama-tama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah ) dalam derajat yang sama, dimana mereka berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain.

2. Orang Gila

Hukum orang gila seperti dengan anak kecil, dan di kalangan ulama madzhab terdapat kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baliq dan mengerti.

Berbeda dari pendapat diatas adalah segolongan madzhab Imamiyah yang mengatakan: perwalian ayah dan kakek berlaku atas arang gila sejak kecil, sedang oarang gila menginjak dewasa, perwaliannya berada di tangan hakim.

3. Anak Safih

Imamiyah, Hambali dan Hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak telah menginjak baligh dalam keadaan terkena ke-safih-an (idiot), maka perwalian berada di tangan hakim, apabila pada orang- orang yang menerima wasiat.

E. PEREMPUAN KAWIN DENGAN WALINYA

Seorang laki-laki yang menjadi wali nikah seorang perempuan karena adanya wakalah/ wasiat boleh menikahinya tanpa menunggu persetujuan wali lainnya, asal saja perempuan tersebut rela menjadi isterinya.

Ø Imam syafi’I dan Abu Daud berpendapat bahwa “yang mengawinkannya harus hakim atau walinya yang lain, sebab wali termasuk syarat pernikahan.”

Ø Ibnu Hazm berpendapat : seorang pengantin itu sekaligus boleh mengawinkan dirinya sendiri. Karena suatui anggapan sebenarnya sama saja semuanya, sedang pendapat mereka diQiaskan dengan seorang penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri.

F. GHAIBNYA WALI

Wali yang jauh (ab’ad) tidak berhak menikahkan selama masih ada wali aqrab (dekat). Wali ghaib apabila telah kembali tidak boleh menolak atau mengingkari pemindahan hak wali kepada wali lain. Menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Assyafi’i berpendapat : apabila wali ab’ad (jauh) menikahkan seorang wanita kemudian wali aqrabnya (dekat) datang, maka nikahnya batal.

Apabila wali aqrabnya tidk berada ditempat, maka hak untuk menjadi wali tidak dapat dipindahkan kepada wali ab’ad tetapi harus dinikahkan oleh wali hakim

G. PEREMPUAN YANGTIDAK MEMPUNYAI WALI

Apabila seorang perempuan berada didaerah yang tidak ada penguasa sedangkan ia tidak mempunyai wali maka perempuan itu apabila akan kawin supaya menyerahkan dirinya kepada tetangganya yang dapat dipercaya untuk dapat menikahkannya.

H. WALI ENGGAN MENIKAHKAN

Para ulama sependaat bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan perempuan yang dalam kewaliannya, tidak boleh menyakitinya adalah larangan nikah padahal yang akan menikahinya sudah sekutu- sepadan- dan sanggup membayar mas kawin. Maka dalam hal ini si perempuan berhak mengadukan halnya kepada hakim untuk dinikahkan.

I. PERNIKAHAN ANAK YATIM

Para ulama berselisih pendapat tentang pernikahan perempuan yatim sebelum dewasa. Sebagian ulama ada yang memperbolehkan[1] Assyafi’i berpendapat: tidak syah kawin dengan perempuan yatim kecuali apabila telah dewasa.

J. WALI HAKIM

Wali adalah aqrab yang tidak dapat berpindah kepada wali lain atau kepada penguasa kecuali ada sebab- sebab yang dapat diterima antara lain :

1. apabila ada sengketa antar wali.

2. apabila tidak ada wali. Hal ini dibenarkan apabila telah jelas tidak adanya wali atau

tidak berada di tempat.

K. MEWAKILKAN PERNIKAHAN

Wakalah adalah mewakilkan akad diperbolehkan menurut Islam. Para ulama sepakat bahwa setiap akad yang dapat dilakukan seseorang, maka akad itu juga dapat diwakilkan kepada orang lain.

L. ORANG YANG DAPAT MEWAKILKAN

Wakalah syah dilakukan oleh seorang laki- laki yang sudah dewasa dan sehat akalnya.

- Jumhur Ulama berpendapat bahwa wali berhak menikahkannya tanpa ada penyerahan

dari pihak perempuan, tetapi harus dengan kerelaan si perempuan.

- Abu Hanifah berpendapaat: penyerahan dari pihak perempuan tersebut syah, sebagian Ulama Syafi’iyah membedakan antara ayah dan kakek dengan yang wali lain, bahwa ayah dan kakek tidak perlu wakalah sedangkan untuk wali lain diperlukan wakalah dari pihak perempuan.

M. PENYERAHAN SECARA MUTLAQ DAN TERBATAS

Penyerahan persoalan (nikah) boleh dengan terbatas boleh pula secara mutlaq. Pasrah mutlaq. Pasrah mutlaq artinya menyerah untuk dikawinkan tanpa batasan apapun.

Orang yang berhak menjadi wali :

  1. Bapak
  2. Kakek / bapak dari bapak
  3. Saudara laki-laki, sekandung
  4. Saudara laki-laki sebapak
  5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
  7. Saudara bapak yang laki-laki (paman)
  8. Anak laki-laki dari paman
  9. Hakim

N. SYARAT-SYARAT WALI

Syarat sah seorang wali adalah sebagai berikut :

  1. Islam, orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali
  2. Baligh (berumur ± 15 tahun )
  3. Berakal
  4. Laki-laki ( Jumhur Ulama )
  5. Adil

III. Penutup

Demikianlah makalah ini kami susun dengan harapan semoga dapat menjadikan sedikit pengetahuan untuk kawan-kawan semua, tentang pemahaman yang kita bahas ini.

Mohon maaf atas apabila terdapat kesalahan dalam menulis makalah ini.

Daftar Pustaka

1. Ghazaly.ADB. Rahman, Drs, MA, “Fiqh Munakahat”, Jakarta : Prenada Media, 2003

2. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif PT, 1981

3. Alhamdani, H, SA, Risalah Nikah Hukum Pernikahan Islam, Jakarta : Pustaka Amani,

1989

4. Hasan, Ali, M, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003



[1] Abu Hanifah dan Ahmad, juga mazhab Aisyah Ummu Mu’minin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar