UU.Perlindungan Anak


BERDASARKAN UU Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. "Anak tidak jahat, itu yang harus di garis bawahi," tegas Dra. Marisa, staf pengajar pada Fakultas Psikologi Unpad.
Menurut Marisa ada dua perilaku kenakalan pada anak atau remaja. Pertama, kenakalan anak yang masih normal. Kenakalan ini terlihat sebagai tindakan yang konyol, bahkan bisa jadi bahan tertawaan serta hiburan bagi yang melihat. Kedua, kenakalan yang negatif, ketika perilaku nakalnya sudah mulai mengganggu atau merugikan lingkungan sosialnya.
Kalau pun seorang anak dikatakan telah melanggar hukum, itu adalah sebagai bentuk kenakalan. Apa yang dilakukannya hanyalah kenakalan, baik yang disengaja karena tidak tahu atau tidak sengaja dan akibat akumulasi rasa frustrasi serta kekecewaan terhadap lingkungan yang banyak menekannya. Bila melakukan kenakalan, anak masih bisa dibimbing dan diperbaiki perilakunya.
Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Marisa di lembaga-lembaga pemasyarakatan, pada golongan usia dibawah 14 tahun banyak yang tidak tahu apa sih melanggar hukum itu? Bila demikian, ketika menjalani proses peradilan, boleh jadi anak sendiri tidak menyadari ia sedang menjalani hukuman.
Vonis yang diberikan pun sulit untuk dicerna dalam pikirannya, apalagi memahami mengapa ada pemotongan tahanan? Apa itu naik banding? Apa itu kasasi? Apa itu pembelaan? Dan banyak lagi atribut peradilan yang biasa digunakan orang dewasa untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap suatu aturan di masyarakat.
Bila demikian, lalu bentuk hukuman apa sebenarnya yang pantas dikenakan terhadap anak? Haruskah ada peradilan anak? Apakah ada cara dan bentuk penyelesaian lain bila dia berkonflik dengan hukum?
"Hukuman bagi anak seharusnya bukanlah balasan terhadap perbuatannya. Kalaupun seorang anak harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain, maka harus ditekankan kepadanya bahwa bentuk hukuman bukanlah harga mati atau pembalasan terhadap perilakunya. Jadi, bila mau menghukum harus tertanam pada anak, bahwa bila si anak baik, orang lain pun akan baik kepada dia," kata Marisa.
Lantas, bagaimana dengan Undang-Undang Peradilan Anak no. 3 tahun 1999 yang telah menetapkan hukuman dan bentuk peradilan bagi anak?
"Pada prinsipnya, tidak ada penjara bagi anak. Bahkan Konvesi Hak Anak tidak membenarkan adanya penjara anak. Bila harus direhabilitasi, perlakuan yang diterima seorang anak harus berbeda dengan tindakan yang dikenakan terhadap orang dewasa pelanggar hukum dalam lembaga pemasyarakatan," jelas Marisa.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ketika dijatuhi vonis dan ditetapkan telah melanggar hukum, maka pemulihan atas kenakalan seorang anak harus dilakukan dalam lingkungan yang layak. Sehingga anak menjalaninya bukan lagi seperti orang yang sedang dihukum (dipenjarakan-red). Lembaga pemasyarakatannya pun harus dibuat seperti kehidupan masyarakat yang normal.
Lembaga pemasyarakatan harus dibuat menjadi tempat yang memiliki nilai, sehingga ketika dia kembali ke masyarakat akan bisa mematuhi nilai-nilai dan norma hukum serta tidak melakukan pelanggaran kembali.
Pada anak, lanjut Marisa ada proses imitasi. Ketika dia melihat, akan mencoba untuk meniru. Anak biasanya melakukan imitasi bagaimana caranya menjadi orang dewasa. "Dia adalah penjiplak perilaku yang ulung," tandas Marisa.
Selain itu semakin mudah akses teknologi bagi anak, juga akan memudahkan akses informasi tentang kejahatan atau kriminalitas bagi si anak. Bila kurang baik dalam penyerapan dan pengolahannya, perilaku buruk dan kenakalan tentu akan menjadi pendorong terjadinya konflik anak dengan hukum.
Logikanya, bila dia dituntut menaati peraturan atau hukum dengan baik maka dia harus belajar dari apa yang dilihat dan dirasakannya baik. Suasana memang harus diciptakan sebaik mungkin untuk bisa dijadikan model dan referensi nilai sekembalinya anak ke masyarakat.
Jadi tak salah bila si anak mendapat perlakuan kurang bijak ketika menjalani proses pemasyarakatan, sekembalinya dari lembaga pemasyarakatan ia akan melakukan perbuatan serupa. Alangkah ironisnya bila penjara yang tidak kondusif bagi anak itu malah mencetak penjahat-penjahat kecil yang akan merusak bangsa ini akibat penanganan yang salah.
"Saya juga kurang setuju ketika hukuman dijatuhkan pada anak dengan dikeluarkannya dari sekolah. Bila itu dilakukan, lantas mereka akan ditampung di mana? Selama ini sekolah terlalu mementingkan kepentingannya yang ingin dicap sebagai tempat sekolahnya anak baik-baik.
Padahal fungsi sekolah adalah mendidik perilaku untuk menjadi baik. Jadi bila ada yang melanggar solusinya bukan dengan mengeluarkannya dari sekolah," tandas Marisa.
Dengan pemecatan sebagai anggota (siswa-red) sekolah secara otomatis juga memberikan label buruk pada anak tersebut. Tak heran bila itu terjadi, anak malah menonjolkan apa yang diakui oleh masyarakat. "Bila cap buruk yang diterimanya, ya itu pula yang akan menjadi identitas dirinya".

Komentar

SH Terate Pandu Bogor mengatakan…
Salam persaudaraan dari Bogor. Jayalah selalu SH Terate. Bagaimana latihan di situ Mas?

Postingan populer dari blog ini

Arti mori dalam pengesahan

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Khasiat daun ubi jalar