Trias Politica

Teori Trias Politica dan Peradilan Islam

I.Apakah teori trias politika itu?

Berawal dari sejarah yang dianggap pertama kali mencetuskan teori pemisahan kekuasaan ialah Jhon Locke. Dalam karya tulisnya berjudul Two Treatises of Civil Government yang diterbitkan pada tahun 1690 ia memisahkan negara dalam tiga kekuasaan, yaitu:

  1. Kekuasaan Legislatif, yaitu : kekuasaan pembentuk undang-undang;
  2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu : kekuasaan yang melaksanakan undang-undang;
  3. Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar negeri dan menyatakan perang damai.

Pemisahan kekuasaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah agar kekuasaan negara tidak terpusatkan di satu tangan, sebab kekuasaan yang terpusatkan di satu tangan cenderung membawa akibat disalahgunakan.

Teori ini kemudian diikuti oleh Montesquieu. Orang perancis ini sekembalinya dari Inggris menulis karya Ilimiah berjudul I’Esprit de Lois . berdasarkan pengalamannya di Inggris ia mengemukakan teori yang terkenal dengan Trias Politica. Ia memisahkan 3 kekuasaan negara dalam 3 lembaga negara. Jadi menurut teorinya kekuasaaan negara dipisahkan menjadi 3 dan dilaksanakan oleh 3 lembaga negara . jadi setiap lembaga hanya melakukan atau mempunyai satu kewenangan saja, sehingga tidak ada campur tangan lembaga satu dalam masalah yang menjadi kewenangan yang lainnya. Dengan demikian tujuan untuk membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang dan melindungi hak asasi dapat tercapai.

Montesquieu memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bentuk :

  1. Kekuasaan Legislatif, yaitu : kekuasaan pembentuk undang-undang yang dipegang oleh lembaga pembentuk undang-undang.
  2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu : kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, biasanya dilaksanakan oleh presiden atau perdana menteri bersama-sama menteri-menteri, secara umum disebut pemerintah.
  3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu : kekuasaan kehakiman, biasanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung serta jajarannya dan badan-badan peradilan lainnya.

Demikianlah Montesquieu dalam karya tulisnya itu mengatakan : “ Dalam tiap negara ada tiga jenis kekuasaan : Kekuasaan legislatif yang diatur oleh hukum hak asasi manusia ; dan kekuasaan eksekutif yang diatur oleh hukum perdata.[1]

II. Peradilan Islam dan kekuasaan Eksekutif di dalam sejarah Islam.

Peradilan Islam di dalam sejarah Islam telah dijelaskan sebelumnya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. النساء : 65

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Peradilan Islam sendiri, telah ada dan pelaksanaanya jelas serta kongkrit. Apabila ada seseorang yang mengatakan bahwa peradilan dimasa Nabi SAW. Masih samar-samar serta tidak mudah memperoleh sesuatu gambaran yang kongkrit, agar ia berfikir lain untuk memperoleh gambar tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa praktek peradilan yang didasarkan pada ketentuan Syari’at Islam telah dimulai sejak masa Rasul di Madinah. Muhammad sebagai utusan Allah, praktis berperan sebagai kepala negara, panglima perang dan hakim. Sebagai hakim beliau menjadi tumpuan harapan masyarakat yang telah mendambakan kehadiran hukum khususnya mereka yang sedang terlibat dalam suatu sengketa atau yang didakwa melakukan pelanggaran kejahatan. Beliau juga mendelegasikan fungsi kehakimannya kepada figur tertentu, yakni sahabat-sahabatnya yang dianggap cakap dan memenuhi persyaratan. Setiap produk atau putusan hukum mereka dimintakan persetujuan Rasul. Di sini beliau berfungsi sebagai hakim agung, yakni hakim yang memberikan putusan akhir.

III. Sudahkah praktek trias politica di kenal dalam sejarah Islam.

Di dalam Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Muhammad SAW adalah seorang

rasul )dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang rasul).[2] Sebagai Rasul beliau bertugas sebagai penyampai dan pen-syarah keseluruhan wahyu yang diterimanya kepada manusia sebagaimana firman Allah :

وَاَنْزَلْنَا اِ لَيْكَ الذِّكْرَ ِلتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَرُوْنَ.

(Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan), dan sebagaimana firman Allah :

النساء : 105

(Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu) dan firman Allah :

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ . الأعراف : 157

(Nabi yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka),

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللهَ وَاْليَوْمَ الآخِرِ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا. الأحزاب :21

(Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah).

Dalam ayat-ayat tersebut ditemukan bahwa Muhammad SAW sebagai rasul, bukan hanya penyampai dan penjelas keseluruhan wahyu Allah, tetapi juga diberi hak legislatif atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan masyarakat (Badan Yudikatif). Karenanya, beliau disebut contoh teladan yang baik bagi manusia.

Muhammad Rasulullah untuk pertama kali mendapat pengakuan sebagai pemimpin dari kelompok penduduk Madinah Baiat ‘Aqabah Pertama (621 M) dan Baiat ‘Aqabah Kedua (622M). Dalam Ikrar Baiat itu, selain pengakuan tersebut dan keimanan kepada beliau sebagai Rasul Allah serta penerimaan Islam sebagai agama mereka, terdapat juga pernyataan kesetiaan, ketaatan, dan penyerahan kekuasaan kepada beliau. Posisinya ini kemudian menjadi kuat setelah di Madinah. Ini tampak dalam langkah beliau yang mampu mengendalikan orang-orang Islam Muhajirin dan Anshar secara nyata dan efektif dengan mempersaudarakan mereka. Langkah inilah yang membawa kepada terbentuknya komunitas Islam untuk pertama kali. Dilihat dari sudut teori politik, ini menunjukan bahwa beliau memiilki “kekuasaan sosial” di kalangan pengikutnya. Kekuasaan sosial adalah “kemampuan mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberikan perintah maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan segala alat dan cara yang tersedia”.[3]

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijriah beliau memperoleh pengakuan yang lebih luas di luar interen umat Islam, yaitu dari suku-suku Yahudi dan sekutunya di wilayah Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara oarng-orang muslim Muhajirin bersama Anshar dan kaum Yahudi bersama sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi..Dalam perjanjian tertulis itu, nabi diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hakam bagi penandatanganan piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka.

Selain sebagai seorang Rasul dan pemimpin agama juga adalah sebagai kepala negara. [4]( Badan Eksekutif) bagi masyarakat Madinah.

Dengan adanya pengakuan itu, berarti kekuatan dan kekuasaan politik benar-benar telah dimiliki oleh Nabi pada waktu itu. Ini berarti beliau juga telah memperoleh keabsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Dan juga beliau telah membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan penduduk Madinah (Piagam Madinah) sebagaiman diketahui, Nabi Muhammmad adalah sumber pembuatan dan penetapan undang-undang. Karenanya, tidak seorang pun dari kaum muslimin selain dia sendiri boleh menyendiri dalam menetapkan hukum baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat luas. Adapun sumber perundang-undangan dimasa Rasul, sebagaimana telah disebutkan adalah wahyu Ilahi dan ketetapan-ketetapan beliau sendiri. Ini berarti kedudukan beliau selain sebagai eksekutif (kepala negara) beliau juga sang pembuat hukum (legislatif). Dan tidak hanya sebatas itu, beliau juga seorang (arbitrater) pemutus ketetapan atau hukum (yudikatif).

Jadi, jika kita lihat kedudukan beliau di Madinah, secara bersamaan beliau adalah seorang pemimpin negara(eksekutif), pembuat undang-undang (legislatif), dan juga seorang penetap hukum (yudikatif). Dikarenakan, beliau dapat mengimbangi seluruh kekuasaan negara pada waktu itu.

Mungkin kesimpulannya, praktek teori Trias Politika sudah dikenal pada sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi hingga masa Dinasti Muawiyyah. Tetapi nama teori Trias Politika itu sendiri belum dikenal terlalu jauh oleh pemerintahan Islam waktu itu (Islam klasik).

Daftar Pustaka

1. Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam Madinah ditinjau

dari pandangan al-Qur’an, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1994.

2. Abidin Ahmad, H. Zainal, Membangun Negara Islam, Jakarta : Widjaya, 1956.

3. Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta : UI-Press, 1995.



1). Azhary, NEGARA HUKUM INDONESIA (Jakarta: universitas indonesia/ UI-Press, 1995), hlm, 93-94.

[2] Q.S. Ali ‘Imran/3 : 144.

[3] Lihat Maclver, op. cit., hlm. 87.

[4] Muhammad Jalal Syarof dan ali abd al-Mu’thi Muhammad, al -Fikr al-Siyasi fi al-Islam, Daar al-Jami’at al-Mishriyyat, Iskandariyyah,1978, h. 62.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar