RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB


KADAR ASI YANG MENJADIKAN MAHROM


A. PENDAHULUAN

            Merupakan sunnatullah, bahwa semua makhluk yang bernyawa, diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Al-Dzariyat : 51). Manusia diciptakan memiliki nafsu serta akal dan hewan memiliki nafsu juga. Sebagian hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana baik dan mana buruk, kecuali beberapa hal yang kecil untuk mempertahankan hidupnya yang muncul berdasarkan instink. Maka dari itu hewan dapat menjalankan nafsunya dengan sepuas-puasnya tanpa ada batas, lain halnya dengan manusia, ia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, kecuali harus dengan aturan-aturan yang berbentuk  ikatan perkawinan. Yang dapat menimbulkan halangan-halangan perkawinan dalam syara’, diantaranya seperti haram karena adanya nasab, perbesanan, pertalian sesusuan.

B. PEMBAHASAN

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي   أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا.

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, ( Q.S. Al-Nisa (4): 23 )

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah : 233)

Menurut riwayat Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Aisyah r.a :

يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يُحَرِّمُ مِنَ النَّسَبِ
“Diharamkan karena adanya hubungan susuan apa yang diharamkan karena adanya hubungan nasab”.




B. I .    Kadar Air Susu Yang Menyebabkan Keharaman

         Secara zhahir segala macam susuan dapat menjadi sebab haramnya perkawinan. Tetapi sebenarnya tidak benar, kecuali karena susuan yang sempurna, yaitu dimana anak menyusu dan menyedot air susunya, dan tidak berhenti dari menyusui kecuali dengan kemauannya sendiri tanpa sesuatu paksaan. [1]
         Jika ia baru menyusu sekali atau dua kali hal ini tidak menyebabkan haramnya kawin, karena bukan disebut menyusu dan tidak pula bisa mengenyangkan.

         ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :           
          لاَتُحَرِّمُ الْمَصَّةَ وَلاَ اْلمَصَّتَانِ
“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari).
        
         Para ulama telah berbeda pendapat tentang kadar persusuan yang menimbulkan pertalian persusuan. Hal ini akibat adanya beberapa riwayat hadits yang mengandung keterangan yang berbeda satu sama lain, yang masing-masing dikuatkan ataupun dilemahkan berdasarkan pertimbangan para ulama dari berbagai madzhab. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :[2]
a.       Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (dalam salah satu di antara dua pendapatnya) serta Ibn Hazm mengacu kepada pendapat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, juga salah satu pendapat Aisyah serta beberapa tokoh lain —“ Persusuan tidak dianggap sempurna, dan karenanya tidak menimbulkan hubungan mahram antara yang menyusui dan disusui, kecuali dengan berlangsungnya paling sedikit lima kali susuan mengenyangkan, dalam beberapa waktu yang berlainan.”

b.      Menurut Abu Hanifah, Malik, dan salah satu dalam madzhab Ahmad, berdasarkan riwayat yang disandarkan pada Ali, Ibn Abbas, Sa’id bin Musayyab, Hasan Al-Bashri dan beberapa lainnya —“Berlangsungnya susuan yang sempurna (yakni yang mengenyangkan, bukan yang hanya berupa satu atau dua isapan saja) walaupun hanya satu kali saja, sudah cukup menimbulkan hubungan mahram antara yang menyusui dan disusui.
‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :  
       لاَتُحَرِّمُ الْمَصَّةَ وَلاَ اْلمَصَّتَانِ
“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah, kecuali    Bukhari).

c.       Pendapat ketiga, yang tampaknya tidak begitu populer, yaitu yang dianut oleh Abu Daud Azh-Zahiri, Abu Tsaur dan Ibn Al-Mundzir. Mereka menyatakan bahwa persusuan tidak dianggap sempurna, dan karenanya tidak menimbulkan hubungan mahram, kecuali apabila telah berlangsung paling sedikit tiga kali susuan.

      Dinyatakan dalam buku Bidayatul Mujtahid silang pendapat ini disebabkan oleh    adanya pertentangan antara keumuman ayat Al-Qur’an dengan hadits yang memuat pembatasan, di samping pertentangan antara hadits itu sendiri satu dengan lainnya. Keumuman firman Allah tersebut ialah:
         وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي  أَرْضَعْنَكُمْ
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu. ( Q.S. Al-Nisa (4): 23 )
            Ayat ini menghendaki keharaman setiap yang dikatakan susuan.
Sedangkan hadits yang saling bertentangan mengenai masalah ini berpangkal pada dua hadits.

            Pertama: hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalan ‘Aisyah dan jalan Ummu ‘I-Fadhl disebutkan:
قال الرسول الله ص.م :لاتُحَرِّمُ اْلإِمْلاَجَةُ وَلاَ اْلإِمْلاَجَتَانِ
Rasulullah saw bersabda:  “Tidak mengharamkan satu kali sedotan atau
 dua kali sedotan”.

Kedua: hadits Salhah yang berkenaan dengan Salim, bahwa Nabi saw. berkata kepadanya:

              ا َرْضِعِيْهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ
“Susukanlah dia lima kali susuan”.
            Bagi fuqaha yang lebih menguatkan lahir kata-kata al-Qur’an atas hadits-hadits ini, maka mereka mengatakan bahwa satu atau dua kali sedotan sudah diharamkan.
            Sedang bagi fuqaha yang mendudukan hadits tersebut sebagai tafsiran atas ayat al-Qur’an, dan menggabungkan antara hadits-hadits dengan al-Qur’an, serta lebih menguatkan mafhum dalil khithab pada sabda Nabi saw.: “Tidak mengharamkan satu kali sedotan atau dua kali sedotan”, atas mafhum dalil khithab pada hadits tentang Salim, maka mereka mengatakan bahwa tiga kali sedotan ke atas itulah yang mengharamkan[3].

B. II. Usia menyusu

            Firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (Al-Baqarah: 233).
Fuqaha telah sependapat bahwa menyusu pada usia dua tahun mengharamkan[4]. kemudian mereka berselisih pendapat tentang penyusuan anak yang sudah besar.
            Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan lainnya berpendapat bahwa penyususan anak besar tidak mengharamkan.
            Daud dan fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa penyusuan tersebut mengharamkan.  Ini juga pendapat ‘Aisyah ra. Sedang pendapat jumhur fuqaha (di atas) merupakan pendapat Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Umar ra., Abu Hurairah ra., Ibnu Abbas ra., dan seluruh istri Nabi saw.
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut. Demikian itu karena dalam hal ini terdapat dua hadits.
            Pertama: Hadits tentang Salim yang telah disebutkan di muka.
            Kedua: Hadits ‘Aisyah ra. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini:
قَالَتْ : دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. وَعِنْدِىْ رَجُلٌ فَاشْتَدَّ ذَالِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الغَضَبَ فِى وَجْهِهِ, فَقُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّهُ اَخِىْ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ, أُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَاِنَّ الرَّضَاعَةَ مِنَ اْلمَجَاعَةِ.

 “ ‘Aisyah berkata: Rasulullah saw. masuk kerumahku, sedang aku mempunyai tamu seorang lelaki, maka hal itu membuat beliau marah, dan aku melihat (tanda-tanda) kemarahan di wajahnya. Kemudian aku berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan. “ maka berkatalah Nabi saw., “ Perhatikanlah siapa saudara-saudaramu sesusuan, karena sesungguhnya penyususan itu disebabkan kelaparan.
            Bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits terakhir ini, maka mereka mengatakan bahwa air susu yang tidak dapat berfungsi sebagai makanan bagi orang yang menyusu, tidak menyebabkan keharaman.
Hanya saja, hadits tentang Salim merupakan suatu kejadian yang nyata, dan seluruh istri Nabi saw. menganggap kejadian tersebut sebagai suatu kemurahan (rukhshah) bagi Salim sendiri.
            Sedang bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits tentang Salim, dan menganggap hadits ‘Aisyah ra. (ada celanya). Karena mereka sendiri tidak menggunakannya, maka mereka mengatakan bahwa penyusuan anak besar menyebabkan keharaman.

B. III. Penyusuan Tambahan Sesudah Berhenti Menyusu.

            Fuqaha berselisih pendapat mengenai, apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi (susu) sebelum berusia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh perempuan lain.
            Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan.
            Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan keharaman.
            Silang pendapat ini disebabkan oleh silang pendapat mereka tentang mafhum sabda Nabi SAW :
فَاِ نَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ المَجَاعَةِ
    Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah disebabkan kelaparan.
            Boleh jadi, yang dimaksud oleh hadits ini adalah penyusuan yang terjadi pada  masa (usia) lapar – betapapun juga keadaan anak itu – yaitu usia menyusu. Dan boleh jadi pula bahwa yang dimaksud adalah, apabila anak tersebut belum disapih. Apabila telah disapih dalam usia dua tahun, maka bukan penyusuan karena kelaparan. Jadi, silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah yang dijadikan tolak ukur bagi penentuan penyusuan yang disebabkan oleh kelaparan dan kebutuhan akan air susu? Apakah kebutuhan yang alami bagi anak-anak, yaitu kebutuhan yang disebabkan oleh usia menyusu, ataukah kebutuhan anak yang menyusu itu sendiri, yang dalam hal ini akan hilang dengan adanya penyapihan, tetapi kebutuhan itu sendiri memang ada.

            Bagi fuqaha yang berpendapat adanya pengaruh penyusuan pada usia menyusu, baik mereka yang mensyaratkan tidak adanya penyapihan atau tidak mensyaratkan demikian, maka mereka berselisih pendapat tentang masa tersebut.
            Zufar berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua (2) tahun.
            Dalam menetapkan keharaman, Imam Malik mensunnahkan sedikit penambahan waktu dari dua (2) tahun. Menurut salah satu riwayat daripadanya, tambahan tersebut adalah satu (1) bulan. Dan menurut riwayat yang lain, tiga (3) bulan.
            Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua tahun enam bulan.
            Silang pendapat ini disebabkan oleh kemungkinan terdapatnya pertentangan antara ayat  al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah penyusuan dengan hadits ‘Aisyah ra. Yang disebutkan di muka. Firman Allah tersebut :

                  وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ     (Q.S. al-Baqarah, 2: 233)
                       “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”.          
            Ayat ini memberi pengertian bahwa penyusuan yang lebih dari dua (2)  tahun bukan merupakan penyusuan karena kelaparan (kebutuhan) akan air susu. Sedang keumuman sabda Nabi saw. :                                فَاِ نَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ المَجَاعَةِ                                                                          
“Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah disebabkan kelaparan.”
Menghendaki bahwa selama  makanan anak kecil masih berupa air susu, maka penyusuan tersebut menyebabkan keharaman[5]                                                                                                                                                  
 B. IV. Memasukkan Air Susu Tanpa Melalui Penyusuan (Al-Wajur Wa ‘I-Ladud)
            Apakah al-wajur wa ‘I-ladud adalah memasukkan air susu ke dalam kerongkongan tanpa melalui penyusuan. Menyebabkan keharaman apa tidak?
            Imam Malik berpendapat al-wajur wa ‘I-ladud menyebabkan keharaman. Dikarenakan ia lebih memperhatikan masuknya air susu - dengan bagaimana pun juga masuknya.
Sedangkan Atha’ dan Daud berpendapat bahwa tidak menyebabkan keharaman. Dikarenakan ia lebih memperhatikan cara masuknya air susu tersebut dengan cara yang biasa, yakni yang disebut al-radha’ (penyusuan), maka mereka mengatakan bahwa al-wajur wa ‘I-ladud tidak mengharamkan.

B.V. Air Susu Campuran
            Apabila air susu seorang ibu bercampur dengan makanan, minuman, obat, susu sapi dan sebagaimana yang dimakan oleh si anak, kalau susu dari si ibu yang menyusui lebih banyak kadarnya maka perempuan yang mengeluarkan air susu itu menjadi haram untuk dikawin. Apabila kadarnya lebih sedikit tidak menyebabkan haram. Demikian menurut madzhab Hanafi, Al-Muzani dan Abu Tsaur dari kalangan madzhab Syafi,i.[6].
            Asy-syafi,i  dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa di susu yang menyebabkan larangan kawin itu menurut kadarnya. Apabila dicampur tetap ada susunya atau tidak.
            Sebenarnya dalam masalah ini harus dilihat kadar susu yang bercampur itu, apakah masih dapat disebut susu atau tidak, apabila masih disebut susu maka menyebabkan haram dan kalau tidak maka tidak menyebabkan haram.
            Di dalam hal ini kaidah yang terkenal yaitu “apabila airnya lebih banyak dari pada air susu dianggap air. Dan bilamana air susunya lebih banyak dari campurannya, maka  dianggap air susu juga”.[7]

B. VI. Sifat Susuan
            Perempuan yang air susunya menjadikan haramnya perkawinan yaitu semua perempuan yang masih subur air susunya, keluar dari kedua puting susunya. Baik sudah dewasa atau belum, sudah tidak haid atau masih berhaid, punya suami atau tidak, hamil atau tidak. Demikianlah sifat-sifat atau keadaan perempuan yang menyusui menurut fuqaha. Imam Abdul Malik Al-Juwaini ayah Imamul Haramain r.a. sewaktu melihat seorang perempuan sedang menyusukan anak beliau, anak itu segera beliau ambil, ditarik kepalanya, perutnya ditekan, kerongkongannya dimasuki jari sampai anak itu muntah, beliau berkata :”Saya lebih rela engkau mati dengan tabeat yang baik dari pada engkau menetek air susu bukan dari ibumu”[8].

B. VII. Persaksian Atas Penyusuan
            Menyusukan anak diperbolehkan di kalangan sesama orang Islam, al-Qur’an dan Sunnah memperbolehkannya. Menyusukan anak sebaiknya disaksikan oleh dua (2) orang saksi. Apabila tidak ada dua (2) orang saksi laki-laki apakah boleh seorang perempuan menjadi saksi apabila ia sendiri yang menyusui?
            Para ulama berselisih pendapat, jumhur ulama menganggap tidak cukup karena berarti memberikan kesaksian tentang apa yang ia lakukan sendiri, mereka beralasan dengan hadits Umar, Ali dan Mughirah bin Syu’bah yaitu bahwasanya mereka melarang (tidak mengakui) perceraian yang disaksikan oleh saksi wanita.
            Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa untuk kesaksian penyusuan ini diperlukan dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua(2)  orang perempuan, kesaksian hanya oleh seorang perempuan tidak dapat diterima berdasarkan firman Allah SWT :

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”.(Al-Baqarah : 282).

Asy-Syafi’i berpendapat bahwa untuk kesaksian penyusuan ini diperlukan empat orang saksi perempuan, karena dua (2) orang perempuan sama dengan seorang laki-laki dan biasanya kaum wanitalah yang dapat menyaksikan penyusuan seperti biasanya orang perempuan menyaksikan kelahiran anak.
            Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya berpendapat bahwa seorang perempuan dapat diterima kesaksiannya dalam kesaksian tentang penyusuan anak. Mereka beralasan dengan hadits budak hitam yang berkata kepada Uqbah ibnul Harits:
قَدْ أَرْضَعْتُكُماَ
          Artinya : “ Saya telah menyusui kalian berdua”.
Dan Nabi saw tidak menanyakan siapa yang menyaksikannya selain dirinya sendiri.
            Demikianlah pendapat-pendapat ulama tentang kesaksian dalam menyusukan anak.

C. PENUTUP
            Diharamkannya perkawinan karena susuan ini adalah karena sebenarnya tubuh sianak itu terbentuk dari air susu ibu yang menetekinya dan si anak akan mewarisi watak dan perangai seperti anak yang akan dilahirkannya sendiri, ia seolah-olah merupakan bagian dari tubuhnya yang memisah kemudian berdiri sendiri, karena ia akan menjadi anggota keluarganya dan menjadi muhrimnya. Hikmah lainnya yaitu untuk memperluas ruang lingkup sanak kerabat dengan memasukkan saudara sepersusuan sebagai saudara sendiri.
           
Refrensi :

  1. Al-Qur’anul Karim.
  2. Al- Hasybi, Muhammad Bagir : Fiqh Praktis, cet. I (2002) Mizan: Bandung.
  3. Al-Hamdani, H.S.A. (Alih Bahasa oleh Drs. Agus Salim) : Risalah Nikah
        Hukum Perkawinan Islam, cet.III (1989) Pustaka Amani: Jakarta.
  1. Ibn Rusyd : Bidyatul Mujtahid (diterjemahkan oleh.Abdurrahman M.A & A. Abdullah Haris) cet.I. (1990), penerbit CV. Asy Syifa’ : Semarang.
  2. Sayyid Sabiq: Fikih Sunnah (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), penerbit  PT Al Ma’arif: Bandung.




           


[1]  Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (6), terjemah, hal. 112
[2]  Muhammad Bagir Al-Habsyi, “Fiqh Praktis”, hal. 17
[3]  Bidayatul Mujtahid, jilid II, terj. hal. 424.
[4]  Ibid . hlm.425
[5]   Ibid. hlm. 427
[6]   H.S.A. ALI HAMDANI, “Risalah Nikah”, hlm. 66.
[7]   Lihat, “Fikih Sunnah VI (Terjmh), hlm. 115
[8]   Tafsir Al Manar II : 417.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar