Syariat Islam di Mesir

Syariat Islam di Mesir

Mesir adalah negara berpenduduk kurang lebih 70 juta jiwa, mendapatkan kemerdekaan dari imperium Turki Usmani di bidang administrasi hukum dan keadilan pada 1874. Menjelang pembubaran khalifahan Usmani, Raja Fuad dari Mesir menyusun konstitusi yang kemudian diundangkan pada April 1923. Dalam pasal 149 konsitusi 1923 menyatakan “Islam sebagai agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi. Dalam pasal 12 berisi jaminan kebebasan beragama, dan pasal 13 memberikan jaminan kebebasan beribadah. Kemudian dalam konstitusi 1956, setelah Raja Fuad digulingkan oleh kaum republikan pada tanggal 23 Juli 1952, Islam kembali ditegaskan sebagai agama negara dan bahasa Arab bahasa resmi. Konstitusi yang diunadangkan sekarang yaitu tanggal 11 September 1971, kembali dinyatakan hal serupa.


Namun, Ketika Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1798 M, hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah hukum Islam. Napoleon berusaha agar hukum-hukum yang berlaku diprancis supaya dilaksanakan di mesir dan sekaligus memarjinalkan hukum Islam dalam tata hukum Nasional Mesir. Usaha yang sistematis ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh Napoleon sebab ia harus pergi setelah bercokol dalam waktu yang cukup lama di Mesir. Meskipun Napoleon telah pergi dari Mesir, programnya diteruskan oleh murid-muridnya secara sistematis dan terencana. Pada tahun 1875 M beberapa undang-undang Perancis diterjemahkan ke dalam bahasa arab dan sekaligus diberlakukan di berbagai pengadilan campuran mesir. Selanjutnya pada tahun 1883 M undang-undang tersebut dijadikan undang-undang positif di seluruh Mesir. Program ini berakhir dengan menghapus lembaga Pengadilan Agama pada tahun 1955 M dan memasukkan kewenangannya ke dalam yuridiksi lembaga Pengadilan Umum.

Sebelumnya hukum Mesir terkontaminasi dengan hukum Prancis dan hukum Barat lainnya, hukum yang berlaku adalah hukum yang tidak terpisahkan dengan syariat Islam. Setelah kedatangan penjajah Barat, hukum yang tertinggal adalah hukum privat yang dikenal dengan hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syahsyiyah) dan itu pun dalam bentuk yang tradisional. Setelah Mesir menyatakan kemerdekaanya, di bawah Undang-Undang Dasar Mesir tahun 1971, hukum islam diusahakan menjadi hukum positif dalam versi yang baru dengan memerhatikan perkembangan hukum modern. Menurut Rifyal Ka’bah231 di bawah Undang-Undang Dasar 1971 ini, pemerintah Mesir berusaha agar seluruh hukum positif yang berlaku di Mesir bersumber pada Alquran, al-hadis dan fiqih pada fuqaha. Sementara itu, permasalahan baru yang tidak disinggung oleh undang-undang itu, maka permasalahannya diselesaikan dengan mengambil pandapat yang kuat dalam mazhab Imam Abu Hanifah.

Pada akhir abad ke-19, pemerintah Mesir telah berusaha agar hukum positif, terutama hukum keluarga dapat diberlakukan kepada seluruh warga Negara Mesir. Hukum keluarga Mesir dalam bentuk baru dikemas ke dalam lima bentuk hukum, yaitu kekuasaan atas jiwa (wilayah ‘ala an-nafs), kekuasaan atas harta (wilayah ‘ala al mal), undang-undang tentang kewarisan (qanun al- marawis), undang-undang tentang wasiat (qanun al-washaya) dan undang-undang tentang wakaf (qanun al-waqf). Setiap bagioan dari bentuk perundang-undangan ini mempunyai hukum materil dan hukum acara tersendiri. Misalnya, hukum kekuasaan atas jiwa, diatur dalam Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 1929. sedangkan hukum acaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. hukum kekuasaan atas harta diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 119 Tahun 1952 dan hkum acaranya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.232

Dalam masyarakat Mesir ada pemahaman bahwa syariat islam terdiri dari kaidah-kaidah dan asas-asas yang dikehendaki oleh masyarakat, dan tidak layak bagi pembuat undang-undang untuk menghindar dari kaidah dan asas-asas tersebut, berdasarkan ketetapan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 22 Mei 1980, setiap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan syariat Islam, peraturan tersebut batal demi hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, di Mesir terdapat komisi-komisi yang membahas setiap hukum yang akan dijadikan undang-undang. Komisi ini terdiri dari unsur Universitas Al-Azhar, komisi Legislatif Mesir dan Komisi Mahkamah Kasasi. Ketiga komisi ini menghimpun segala hal yang bersumber dari syariat Islam untuk dijadikan bahan dalam pembentukan undang-undang atau peraturan lainnya. Meskipun komisi ini menemui kendala dalam melaksanakan tugasnya, tetapi kendala-kendala itu dapat dihilangkan dengan prinsip-prinsip kesamaan dan musyawarah sebagai mana yang ditentukan oleh syariat Islam itu sendiri.

Dalam upaya memecahkan setiap permasalahan hukum-hukum kontemporer, di Mesir telah dibentuk Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, yaitu lembaga penelitian dan pengkajian islam yang diketuai oleh Syaikh al-Azhar yang anggota-anggotanya terdiri dari ulam-ulama pilihan dari berbagai disiplin ilmu, antara lain politik, ekonomi, sosiologi, budaya, antropologi, kedokteran, hukum, dan sebagainya. Lembaga ini didirikan atas dasar bahwa untuk memecahkan segala problem yang terjadi dalam era globalisasi serta ini tidak cukup penyelesaiannya didasarkan pada ilmu syariah saja, tetapi harus melibatkan disiplin ilmu lain yang terkait. Misalnya, apakah asuransi termasuk jual beli yang gharar (tipuan)? Apakah termasuk takaful al-ijtimai (jaminan sosial) yang dibenarkan oleh agama? Apabila hal ini diserahkan kapada para ahli fiqih saja, hal itu tidak dapat diterima secara representatif, kecuali hal tersebut dibahas oleh para pakar yang ahli dalam bidang asuransi. Setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan yang berwenang, harus terlebih dahulu dibahas oleh komisi majma’ al-buhuts al-islamiyah secara mendalam dan seksama. Dalam melaksanakan pekerjaannya, lembaga ini tidak perlu meminta izin kepada pengadilan, asalkan pekerjaan itu tidak mendatangkan bahaya (dharar) kepada masyarakat secara umum.1

Produk pembahasan dalam rangka pembaruan hukum islam yang dilaksanakan oleh lembaga Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah tersebut adalah mengedepankan ijtihad kolektif (jama’i) ulama dan para cendekiawan. Dengan lembaga ijtihad kolektif itu segala permasalahan hukum baru dapat dicari solusinya sehingga tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvakum). Di samping itu, lembaga Majma’ al-buhuts al-islamiyah ini selalu mengedepankan maqashid al-syar’iyyah dalam ijtihad berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini dilaksanakan sebagai jawaban keluasan hukum Islam dalam menjawab perkembangan zaman.

Pembaruan hukum Islam di Mesir dalam bidang keluarga meliputi : Pertama, pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting sebagai alat pembuktian. Kedua, perkawinan antara beda agama hanya dibenarkan dengan wanita ahli kitab. Di indonesia tidak dibenarkan kawin beda agama. Ketiga, seorang wanita dibenarkan membuat perjanjian perkawinan dengan calon suaminya untuk tidak dimadu, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hal ini tidak diatur. Keempat, saksi dalam pernikahan adalah dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan, sedangkan dalam hukum acara peradilan di Indonesia tidak dibedakan sepanjang memenuhi batas minimal pembuktian. Kelima, poligami tidak perlu izin pengadilan lebih dahulu sebelum perkawinan dilaksanakan. Keenam, hak hadhanah ada pada ibunya, kecuali ibunya beragama selain Islam, maka hak hadhanah beralih pada ayahnya. Usia anak asuh laki-laki adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang sampai 15 tahun, anak perempuan 12 tahun dan dapat diperpanajang sampai 17 tahun. Di indonesia batas usia hadhanah hanya berumur 12 tahun tanpa melihat jenis kelamin. Ketujuh, wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu dari anak perempuan, sedangkan di Indonesia wasiat wajibah hanya diberikan kepada anak angkat dan bapak angkat saja.2

Mesir sebagai Negara dan masyarakat awal kebudayaan adalah tempat pembaharuan ilmu dan agama Islam Tokoh pembaharuan yang dikenal adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qosim Amir, al-Maraghi, Hassan Al-Banna, dan lainnya yang telah banyak memberikan kontribusi dalam pembaruan hukum Islam di seluruh dunia. Akibat pemikiran-pemikiran pembaruan pada tahun 1987 pemerintah mesir maju selangkah lagi dalam melaksanakan reformasi hukum, yaitu dengan diterbitkannya jehan law 1987 yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak kaum wanita, perlindungan anak, dan hak-hak istri serta hal-hal lain dalam bidang hukum keluarga.


Pengaruh Oposisi dalam Pembentukan Hukum di Mesir

Ada dua kelompok oposisi yang menuntut penerapan syari’at Islam di Mesir. Kelompok pertama, kelompok mainstream, diwakili Ikhwanul muslimin yang menggunakan cara nirkekerasan, dengan berusaha memepengaruhi pemerintah dan kebijakannya melalui para pengikut mereka yang ada di pemerintahan. Sebagai partai Islam, Ikhwanul Muslimin dilarang mengikuti pemilihan umum. Untuk mengatasi hal ini, Ikhwanul Muslimin mengajukan calon-calon mereka melalui partai-partai lain. Melalui cara tersebut, mereka berhasil meraih 38 kursi di Majelis Rakyat pada pemilihan umum 1987. kelompok Ihwanul Muslimin juga berpengaruh di berbagai kelompok profesi seperti Ikatan Dokter, pengacara, wartawan dll.

Kelompok oposisi lainnya adalah kelompok radikal, yang seringkali disebut denagn Jama’ah Islamiyah. Selain men un tuut penerapan syari’at Islam secara totoal, mereka juga menentang pengaryh Barat, menganjurkan perang melawan Israel, dan bahkan berusaha membunuh pejabat-pejabat Mesir. Dalam beberapa insiden, misalnya yang berlangsung di tahun 1980-an, kelompok ini juga membakar toko penyewaan video, bioskop, toko yang menjual minuman keras, dan Gereja Kristen Koptik. Hal ini menyebabkan Syeikh Muhammad Mutawwallisya’rowi, seorang juru dakwah terkenal, mengatakan pada tahun 1989 bahwa penggunaan kekerasan atas nama Islam tidak dapat dibenarkan. Pada umumnya para pengamat menilai bahwa oposisi dari keuatan-kekuatan yang menginginkan penetapan syari’at Islam bukanlah ancaman yang berarti bagi sistim politik di Mesir.




1 Mahkamah Agung RI, “Laporan Pelatihan Hakim Indonesia Di Pusat Kajian Peradilan Nasional Mesir,” Mahkamah Agung RI Depag RI, Jakarta, 2002, hlm, 27.

2 Ibid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar