Adopsi Anak

Adopsi Anak Pasca Perubahan UU Peradilan Agama

”Apakah tidak terjadi dualisme dalam kewenangan pengangkatan anak antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama”?

Pertanyaan itu diajukan utusan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Pontianak di sela-sela Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung yang berlangsung di Batam, 10–14 September lalu. Pertanyaan serupa juga datang dari beberapa hakim agama dari peradilan lain.

Pertanyaan mereka dapat dimaklumi. Menurut Andi Syamsu Alam, Ketua Muda MA Urusan Peradilan Agama, salah satu kewenangan baru Pengadilan Agama (PA) setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 berkaitan dengan penetapan asal usul anak dan pengangkatan anak. Kewenangan itu diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20, yang menyebutkan bahwa PA berwenang mengadili “penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam“.

Dengan aturan itu terkesan ada dua badan peradilan yang berwenang mengurusi adopsi anak, yaitu PA dan Pengadilan Negeri (PN). Lantas, bagaimana kalau anak yang diangkat berbeda agama dengan orang tua angkat? Siapakah yang berwenang diantara kedua badan peradilan itu? Inilah yang membuat sang hakim ingin mempertegas dualisme kewenangan pengangkatan anak.

Menurut Andi Syamsu Alam, sebenarnya tidak ada dualisme. PA hanya berwenang mengurusi adopsi anak di kalangan umat Islam. Di luar adopsi menurut hukum Islam, kewenangan ada di tangan PN, termasuk adopsi antar negara (intercountry adoption). Kewenangan PA menetapkan asal usul anak malah sudah disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sejak 1991. Pasal 103 KHI menyebutkan bahwa asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lain. Jika akta kelahiran atau bukti lain tidak ada, maka yang berwenang menetapkan asal usul anak adalah PA.

Muhammad Joni mengamini pendapat Syamsu Alam mengenai kewenangan PA. Ketua Komisi Hukum dan Advokasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia itu, pembedaan kewenangan adopsi anak ke PA dan PN cukup beralasan. Dari segi kualifikasi atau terminologi saja, ada perbedaan konsep adopsi menurut hukum Islam dengan hukum nasional atau hukum Barat. “Islam tidak mengenal adopsi sebagaimana dimaksud dalam hukum Barat,“ ujarnya kepada hukumonline.

Berdasarkan konsep Islam, pengangkatan seorang anak tidak boleh memutus nasab antara si anak dengan orang tua kandungnya. Hal ini kelak berkaitan dengan sistem waris dan perkawinan. Dalam perkawinan misalnya, yang menjadi prioritas wali nasab bagi anak perempuan adalah ayah kandungnya sendiri. Dalam waris, anak angkat tidak termasuk ahli waris. Itu sebabnya, kata Joni, konsep adopsi dalam Islam lebih dekat kepada pengertian pengasuhan alias hadhanah.

Adopsi menurut hukum adat berbeda-beda. Masyarakat Jawa umumnya masih menganut prinsip yang hampir sama dengan Islam: adopsi tidak menghapus hubungan darah anak dengan orang tua kandung. Tetapi di Bali, misalnya, pengangkatan anak adalah melepaskan anak dari keluarga asal ke keluarga baru. Anak tersebut akan menjadi anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya.

Adopsi anak memang sering menjadi problem hukum. Kasus Tristan Dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi, adalah kasus teranyar yang menghebohkan, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara asal orang tua yang mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum, akhirnya Tristan bisa kembali ke ibu kandungnya.

Adopsi oleh WNA
Tristan adalah salah contoh adopsi orang asing, walaupun dalam praktek terjadi jual beli. Nyatanya, adopsi anak bernama asli Erwin itu disahkan PN Jakarta Selatan. Diyakini ada banyak kasus sejenis terjadi meskipun belum terungkap ke permukaan. Umumnya terjadi melalui sindikat perdagangan bayi. Tapi, kok begitu mudahnya mereka mendapatkan penetapan dari pengadilan?

Mahkamah Agung pun tidak menutup mata dan telinga terhadap hal itu. MA menengarai masih ada hakim yang melenceng dari ketentuan aturan adopsi, terutama oleh orang asing. Dulu, aturan yang dipakai adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979, yang disempurnakan lewat SEMA No. 6 Tahun 1983.

Isu adopsi oleh orang asing kembali mencuat pasca bencana tsunami dan gempa di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi penetapan palsu dari pengadilan, akhirnya MA kembali menebitkan SEMA No. 3 Tahun 2005. Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA 2005 adalah kewajiban PN melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak ke MA selain kepada Dephukham, Depsos, Deplu, Depkes, Kejaksaan dan Kepolisian.

Mahkamah Agung juga memberikan tiga arahan yang harus diperhatikan hakim sebelum memutus penetapan adopsi anak. Arahan itu juga tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pertama, adopsi hanya bisa dilakukan demi kepentingan terbaik anak. Prinsip ini pulalah yang dianut UU Kewarganegaraan yang terbit 2006.

Kedua, calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat. Bila asal usul anak tidak diketahui, maka disesuaikan dengan mayoritas pendudukan setempat. Menurut M. Joni, aturan ini mencegah terjadinya pengangkatan anak yang berbeda agama. Sehingga perbenturan kewenangan antara PA dan PN tidak akan terjadi.

Ketiga, pengangkatan anak oleh orang asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Kalaupun upaya adopsi itu berhasil, Pasal 40 UU Perlindungan Anak masih mewajibkan orang tua angkat memberitahukan asal usul dan orang tua kandung kepada si anak kelak.

Pengangkatan anak oleh orang asing memang relatif ribet. Tengok saja peristiwa yang belum lama ini dialami oleh aktris Madonna. Upaya Madonna mengangkat David Banda, seorang anak di Malawi, mendapat hambatan. UU Malawi rupanya tak membenarkan adopsi oleh WNA. Meskipun sang anak akhirnya ikut keluarga Madonna, kasus ini menunjukkan bahwa proses adopsi oleh orang asing tidak semudah yang dibayangkan. Itu sebabnya, dalam beberapa kasus, calon orang tua angkat lebih memilih jalan pintas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar