nikah beda agama & akibat hukumnya

NIKAH BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA DENGAN PERWALIAN SERTA KEWARISAN

PENDAHULUAN

Merupakan sunatullah, bahwa semua makhluk yang bernyawa, diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan memiliki nafsu serta akal dan hewan memiliki nafsu juga. Sebagian hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana baik dan mana buruk, kecuali beberapa hal yang kecil untuk mempertahankan hidupnya yang muncul berdasarkan instink. Maka dari itu hewan dapat menjalankan nafsunya dengan sepuas-puasnya tanpa ada batas, lain halnya dengan manusia, ia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, kecuali harus dengan aturan-aturan yang berbentuk institusi perkawinan.

PEMBAHASAN

A. Perkawinan Antarorang Yang Berlainan Agama

yang dimaksud dengan “perkawinan antarorang yang berlainan agama” di sini adalah perkawinan orang islam ( pria/wanita ) dengan orang bukan islam ( pria/wanita). Mengenai masalah ini islam membedakan hukumnya sebagai berikut :

1. perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik;

2. perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab ;

3. perkawinan antar wanita muslimah dengan pria non muslim.

  1. perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik

islam melarang perkawinan antara seorag pria muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 221 :

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu ? menurut ibnu jarir al-thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah dari bangsa arab yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa arab saja, karena bangsa arab pada waktu turunnya al-qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menymbah berhala[1]. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari non-arab, seperti wanita cina, India, dsb, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama budha, hindu, yang percaya pada tuhan yang maha esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad abduh juga sepakat sependapat dengan ini.[2]

Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik dari bangsa arab ataupun bangsa non-arab, selain ahlul kitab, yakni yahudi dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahw3a wanita yang bukan islam, dan bukan apula yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim, apapu agama dan keprcayaannya, seperti budha, hindu, dll, karena pemeluk agama selain islam, seperti Kristen ndan yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”. Disebutkan dalam al-quran surat al-bayyinah ayat (6) yang artinya :

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.

2. Perkawinan Antar Seorang Pria Muslim Dengan Wanita Ahlul Kitab

berbeda dengan larangan mengawini perempuan musyrik, penyembah berhala, matahari, bintang dan sebagainya, atau ateis atau murtad sebagaimana telah diuraikan diatas, al-qur’an menghalalkan pria muslim mengawini perempuan dari kalangan ahlul kitab. (walaupun tidak sebaliknya).

Tentang dibolehkannya pria muslim mengawini perempuan ahlul kitab, Allah SWT berfirman dalam surat al-maidah ayat (5) :

Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang nmenjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu.

Selain berdasarkan al-qur’an surat al-maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah nabi, dimana nabi parnah kawin dengan wanita ahlul kitab, yakni Mariah al-qibtiyah (Kristen). Demikian pula sahabat nabi yang termasuk senior bernama hudzaifah bin al-yaman pernah kawin dengan seorang wanita yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.

Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seoirang pria muslim dengan wanita Kristen atau yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan yahudi itu mengandung umsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan nabi isa dan ibunya maryam (maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan uzair putra allah dan mengkultuskan haikal nabi sulaiman bagi umat yahudi.[3]

3. Perkawinan Antara Seorang Wanita Muslimah Dengan Pria Non-Muslim.

Ulama telah sepakat, bahwa islam melarang perkawinan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim, baik s\calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, sepertinya Kristen dan yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci. Termasuk pula disini penganut animisme, ateisme, politeisme dan sebagainya.

Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, ialah :

a. firman allah dalam surat al-baqarah ayat 221 :

dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

b. ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim.

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orangh islam (pria/wanita, selain ahlul kitab), ialah bahwa antara orang islam dengan orang kafir selain Kristen dan yahudi itu terdapat way of life dan filfasat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang islam percaya sepenuhnya kepada allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideology” mereka.[4]

Mengenai hikamah diperbolehkannya perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita Kristen/yahudi, ialah kerena pada hakikatnya agam Kristen dan yahudi itu satu rumpun dengan agama islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita Kristen/yahidi kawin dengan pria muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri masuk islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama islam, setelah hidup ia di tengah-tengah keluarga islam. Sebab agama islam mempunyai panutan/pedoman hidup yang lengkap, mudah/praktis, flexible, demokratis, menghargai kedudukan wanita islam dalam keluarga, masyarakat, dan Negara, teloran terhadap agama/kepercayaan lain yang hidup dimasyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama kebebasan beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita barat dan timur yang kawin dengan pria muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama islam.[5]

Namun kalau seorang pemuda muslim itu kualias iman dan islamnya masih belum baik, misalnya islamnya masih islam KTP atau islam abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi Kristen/yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi ahlul kitab untuk memurtadkan umat islam dan kemudian menariknya ke agama mereka dengan bebagai cara.[6]

B. AKIBAT HUKUM DENGAN PERWALIAN

I. PENGERTIAN PERWALIAN

Perwalian dalam arti umum yaitu “Segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dan wali mempunyai banyak arti lain :

1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim

serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.

2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah ( yaitu yang melakukan janji

nikah dengan pengantin laki- laki).

3. Orang shaleh (suci) penyebar agama.

4. Kepala pemerintah dan sebagainya.

C. AKIBAT HUKUM DENGAN KEWARISAN

I. PENEGRTIAN WARIS

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat



[1] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, cet. X, Jakarta, PT.Gunung Agung, 1997, hlm. 4.

[2] Raysid Ridha, tafsir al-manar, vol. VI, Cairo, Darul Manar, 1367 H, hlm. 187-188; 190; dan 193.

[3] Rasyid ridha sependapat dengan jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah di satu pihak dengan ahlul kitab (Kristen dan yahudi) di pihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh al-qur’an, sekalipun pada hakikatnya ahlul kitab Kristen dan yahudi itu sudahmelakukan “syirik” menurut pandangan tauhid islam. Karena itu, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita Kristen/yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat al-maidah ayat 5, sunah dan ijma’ibid, hlm 186. mengenai perkawinan sahabat nabu hudzaifah bin al-yaman dengan seorang wanita yahudi, ibid, hlm. 180.

[4] Vide ali ahmad al-jurjawi, hikamh al-tasyri’ wa falsafatuh, vol. II, cairo, al-mathba’ah al-yusufiyah, 1931, hlm. 25-26;28-30.

[5] Ibid, hlm. 26-27.

[6] Rasyid ridha, op.cit, hlm. 193.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAUDHA'AH (SE-SUSUAN) DALAM PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Arti mori dalam pengesahan

Khasiat daun ubi jalar